SI DUNGU: NOVEL LORONG WAKTU TAROT NUSANTARA (1)

 NOVEL LORONG WAKTU TAROT NUSANTARA 

ANOM SP

 

Debur ombak Pantai Selatan berirama, melagu kidung yang sama sejak zaman purba. Bagi sebagian besar penduduk Desa Tanjung Harapan, irama itu adalah pengantar tidur yang menenangkan, melenakan mimpi tentang panen ikan melimpah dan kehidupan tenteram. Namun bagi Ari, irama ombak adalah bisikan gelisah, seruan untuk sesuatu yang tak terjangkau di balik garis cakrawala.

Di gubuk reyot di tepi desa, Ari duduk bersila di atas tikar pandan usang. Cahaya senja menari-nari di dinding bambu, mewarnai ruangan dengan semburat jingga dan lembayung. Di pangkuannya tergeletak sebuah benda yang baru saja ia temukan di loteng rumah kakeknya ––sebuah kartu kayu berukir gambar aneh. Kayunya terasa hangat di telapak tangan Ari, seolah menyimpan denyut kehidupan yang terpendam.

Gambar di kartu itu menarik perhatiannya. Seorang lelaki berjalan riang, tongkat bambu dipikul di bahu, sebuah bungkusan sederhana tergantung di ujungnya. Kakinya telanjang, melangkah ringan di atas gelombang air yang digambarkan dengan guratan-guratan biru. Di sampingnya, seekor anjing coklat kecil melompat-lompat gembira. Matahari di latar belakang digambar dengan unik – sebuah lingkaran emas dengan sebuah mata di tengahnya, memancarkan cahaya yang lembut namun penuh misteri. Di bagian atas kartu, terukir angka nol, dan di bawah gambar, tertera tulisan "SI DUNGU".

Ari tidak mengerti apa arti kartu ini. Ia hanya tahu, sejak menyentuhnya, hatinya dipenuhi perasaan aneh – campuran antara rasa ingin tahu yang membuncah dan kerinduan yang tak terjelaskan. Ia teringat cerita-cerita kakeknya tentang Tarot Nusantara, sekumpulan kartu sakti yang konon mampu mengungkap rahasia masa depan dan menghubungkan manusia dengan kekuatan gaib alam semesta. Kakeknya selalu berpesan agar kartu-kartu itu dihormati dan tidak dipermainkan sembarangan.

"Mungkin ini salah satu kartunya," bisik Ari pada diri sendiri, mengamati ukiran di kartu kayu itu sekali lagi. Sosok lelaki di kartu itu tampak begitu bebas, begitu bersemangat untuk memulai petualangan. Ari merasa ada sebagian dirinya tercermin di sana –-rasa dungu karena ketidaktahuan, namun juga keberanian untuk melangkah ke tempat yang belum dipetakan.

Tiba-tiba, angin malam berhembus lebih kencang, menyelinap masuk melalui celah dinding gubuk. Angin itu bukan hanya membawa aroma garam laut dan rumput ilalang, tapi juga sebuah bisikan. Bisikan itu samar, nyaris tak terdengar, namun terasa meresap ke dalam tulang sumsum Ari, membisikkan kata-kata yang tidak diucapkan, namun dimengerti oleh hatinya. Pergi. Langkah. Awal.

Ari tersentak. Ia menoleh ke sekeliling, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Gubuk itu sunyi, hanya derit bambu dan desiran ombak yang terdengar. Namun bisikan itu masih terasa bergaung di dalam benaknya, semakin kuat, semakin mendesak.

Malam itu, Ari tidak bisa tidur. Bisikan angin dan tatapan mata tunggal di kartu kayu itu terus menghantuinya. Ia bangkit dari tikar, berjalan ke jendela gubuk dan menatap langit malam yang bertaburan bintang. Lautan tampak berkilauan diterpa cahaya rembulan, membentang luas tanpa batas. Ia merasakan panggilan yang semakin kuat, panggilan untuk meninggalkan Desa Tanjung Harapan, untuk melangkah ke dunia yang luas dan penuh misteri.

Keesokan harinya, fajar menyingsing dengan warna keemasan. Ari sudah bersiap. Ia mengenakan pakaian sederhana, membungkus beberapa potong ubi rebus dan air kendi ke dalam sebuah kain batik, lalu mengikatkannya pada ujung tongkat bambu. Kartu kayu "Si Dungu" ia selipkan di antara lipatan kain bajunya, terasa dekat dengan jantungnya.

Ia keluar dari gubuk, mengunci pintu dengan kunci kayu usang. Ia tidak membawa banyak barang, hanya keyakinan yang membara di dada dan bisikan angin yang menuntun langkahnya. Saat ia berjalan melewati jalan desa yang masih sepi, seekor anjing kecil berwarna coklat tiba-tiba muncul dari balik rumpun bambu. Anjing itu menatap Ari dengan mata cerah, lalu mengibas-ngibaskan ekornya dan berlari mengikuti langkahnya.

Ari tersenyum. Ia berjongkok dan mengelus kepala anjing kecil itu. "Kamu mau ikut denganku?" tanyanya lembut. Anjing itu menjilat tangannya sebagai jawaban. Ari memberi anjing itu nama Cakra. Dalam bahasa kuno, Cakra berarti roda atau lingkaran energi, simbol pergerakan dan perjalanan. Nama yang pas untuk teman seperjalanannya.

Dengan Cakra di sisinya, Ari melangkah keluar dari Desa Tanjung Harapan, menuju jalan setapak yang membentang ke arah hutan lebat di kejauhan. Ia tidak tahu ke mana arah tujuannya, tidak tahu bahaya apa yang menantinya. Yang ia tahu hanyalah, ia harus melangkah. Ia adalah Si Dungu, memulai perjalanan tanpa peta, tanpa tujuan yang jelas, hanya berbekal keberanian dan keyakinan pada bisikan angin.

Masyarakat desa yang melihatnya pergi hanya bisa menggelengkan kepala. "Si Dungu itu benar-benar pergi," bisik seorang tetangga kepada yang lain. Namun, di mata mereka, tersirat bukan hanya rasa kasihan, tapi juga sedikit kekaguman. Karena dalam hati kecil mereka, tersembunyi pula kerinduan akan petualangan, kerinduan untuk melepaskan diri dari rutinitas hidup yang monoton, seperti Si Dungu yang berani melangkah menuju ketidakpastian.

Jalan setapak yang dipilih Ari membawanya semakin dalam ke jantung rimba. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, menaungi jalan dengan kanopi dedaunan yang rimbun. Sinar matahari hanya mampu menyusup dalam bentuk garis-garis cahaya yang menari di antara batang-batang pohon. Udara terasa lembab dan hangat, dipenuhi aroma tanah basah, lumut, dan bunga-bunga hutan yang eksotis.

Cakra, anjing kecil itu, berlari riang di depan Ari, sesekali menghilang di balik semak-semak, lalu muncul kembali dengan ekor bergoyang-goyang. Ari merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran Cakra. Kehadiran anjing itu seolah menjadi penanda bahwa ia tidak benar-benar sendirian dalam petualangan ini.

Setelah berjalan seharian penuh, Ari mulai merasa lapar. Bekal ubi rebusnya sudah habis sejak siang tadi. Ia mulai khawatir, bertanya-tanya apakah ia akan menemukan sumber makanan di hutan belantara ini. Tepat saat rasa lapar mulai menyiksa, Cakra tiba-tiba menggonggong dengan bersemangat dan berlari ke arah samping jalan setapak.

Ari mengikuti Cakra dan terkejut melihat pemandangan di balik pepohonan. Sebuah keramaian yang tak terduga. Di sebuah tanah lapang yang cukup luas, di tengah hutan yang sunyi, terhampar sebuah pasar. Bukan pasar desa biasa, melainkan Pasar Rimbun, tempat berkumpulnya para pedagang dan pembeli dari berbagai penjuru, bahkan dari dunia yang tampaknya berbeda.

Pasar itu dipenuhi tenda-tenda kain warna-warni, asap mengepul dari tungku-tungku makanan, dan suara riuh rendah percakapan dalam berbagai bahasa. Ari melihat pedagang menjajakan barang-barang yang belum pernah dilihatnya sebelumnya: ramuan-ramuan aneh dalam botol kaca, permata berkilauan yang memancarkan cahaya redup, kain-kain sutra halus dengan motif yang rumit, bahkan hewan-hewan eksotis dalam kurungan bambu. Para pembelinya pun tidak kalah aneh. Ada yang berpakaian seperti bangsawan dari negeri dongeng, ada yang mengenakan topeng kayu dengan ukiran mengerikan, ada pula yang tampak seperti makhluk setengah manusia setengah hewan.

Ari merasa kagum sekaligus bingung. Bagaimana mungkin ada pasar seperti ini, tersembunyi di tengah hutan belantara, seolah muncul dari dunia lain? Ia teringat cerita-cerita kakeknya tentang pasar-pasar gaib yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu pada waktu-waktu tertentu. Apakah Pasar Rimbun ini salah satunya?

Dengan ragu-ragu, Ari melangkah masuk ke dalam keramaian pasar. Rasa lapar mendorongnya untuk mencari makanan. Ia melihat sebuah tenda yang menjual sate daging yang baunya sangat menggugah selera. Tanpa pikir panjang, ia mendekati tenda itu.

"Sate hutan, tuan? Daging segar, bumbu rempah pilihan!" sapa seorang pedagang bertubuh tambun dengan senyum lebar. Pedagang itu mengenakan celemek kulit dan topi jerami lebar.

"Berapa harganya?" tanya Ari, sedikit gugup. Ia menyadari bahwa ia tidak punya banyak uang.

"Untuk pemuda tampan seperti Anda, harga spesial! Dua keping perak untuk sepuluh tusuk," kata pedagang itu sambil mengedipkan mata.

Ari merogoh kantong kainnya dan menemukan hanya ada tiga keping perak di sana. Cukup untuk membeli sate, tapi hampir habis seluruh uangnya. Tanpa berpikir panjang, Ari membeli sepuluh tusuk sate dan langsung menyantapnya dengan lahap. Dagingnya terasa lezat dan beraroma rempah yang kuat, menghilangkan rasa laparnya dalam sekejap.

Saat Ari sedang menikmati satenya, matanya tertumbuk pada sebuah tenda di seberang jalan. Tenda itu tampak lebih sederhana dari yang lain, hanya terbuat dari kain lusuh berwarna coklat. Di depan tenda itu duduk seorang perempuan tua dengan wajah keriput dan mata yang tajam menusuk. Perempuan itu mengenakan pakaian serba hitam dan kalung tulang-tulang hewan di lehernya. Di depannya terhampar berbagai macam kartu-kartu bergambar yang tampak kuno dan misterius.

Ari merasa tertarik pada tenda perempuan tua itu. Ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya untuk mendekat. Dengan sisa sate di tangannya, Ari berjalan menuju tenda perempuan tua itu.

Perempuan tua itu menatap Ari dengan tatapan yang sulit diartikan. "Anak muda, kau tertarik dengan kartu-kartu ini?" tanyanya dengan suara serak.

"I-iya, Nenek. Saya penasaran," jawab Ari, sedikit tergagap. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki kekuatan gaib.

"Kartu-kartu ini adalah jendela menuju masa depan, cermin jiwa manusia," kata perempuan tua itu dengan suara misterius. "Kau ingin tahu tentang masa depanmu?"

Ari terdiam sejenak. Ia sebenarnya tidak terlalu memikirkan masa depan. Ia hanya ingin berpetualang, mengikuti panggilan hatinya. Namun, rasa ingin tahu tetaplah ada.

"Mungkin... sedikit," jawab Ari ragu.

Perempuan tua itu tersenyum tipis. "Baiklah, Si Dungu. Mari kita lihat apa yang dikatakan kartu-kartu tentang perjalananmu."

Perempuan tua itu memberi isyarat agar Ari duduk di hadapannya. Ia menyingkirkan sisa sate dari tangan Ari dan meletakkan sepiring kecil di depannya. Kemudian, dengan gerakan tangan yang lincah, ia mulai mengocok setumpuk kartu-kartu bergambar di depannya. Suara kartu bergesekan satu sama lain terdengar seperti bisikan angin yang misterius.

Setelah beberapa saat, perempuan tua itu berhenti mengocok kartu dan menebarkannya di atas tikar. Kartu-kartu itu tersebar membentuk formasi yang rumit, setiap kartu memiliki posisi dan makna tersendiri. Ari menatap kartu-kartu itu dengan penuh rasa ingin tahu. Beberapa gambar tampak familiar, seperti gambar "Si Dungu" yang ada di kartu kayu yang ditemukannya. Namun, sebagian besar gambar lain terasa asing dan penuh simbolisme yang sulit dipahami.

Perempuan tua itu menunjuk salah satu kartu yang terletak di tengah formasi. "Ini adalah kartu yang mewakili dirimu saat ini," katanya. "Lihat, kartu Si Dungu lagi. Ini menunjukkan bahwa kau sedang berada di awal perjalanan, penuh potensi namun juga naif dan tidak tahu arah."

Ari mengangguk. Ia merasa perempuan tua itu benar. Ia memang merasa seperti Si Dungu dalam kartu itu, berjalan tanpa peta, hanya mengandalkan insting dan keberanian.

Perempuan tua itu melanjutkan membaca kartu-kartu yang lain. "Kartu-kartu di sekitarmu menunjukkan bahwa perjalananmu akan dipenuhi kejutan dan tantangan. Kau akan bertemu dengan orang-orang yang baik dan jahat, menghadapi rintangan alam yang berat, dan menemukan misteri-misteri yang tersembunyi."

"Apakah... apakah perjalanan ini akan berhasil?" tanya Ari, sedikit cemas. Ia menyadari bahwa perjalanannya mungkin tidak seindah yang ia bayangkan.

Perempuan tua itu tersenyum misterius. "Kartu-kartu tidak mengatakan tentang keberhasilan atau kegagalan, anak muda. Kartu-kartu hanya menunjukkan potensi dan kemungkinan. Keberhasilanmu tergantung pada dirimu sendiri, pada pilihan-pilihan yang kau ambil di sepanjang jalan."

"Tapi... kartu Si Dungu ini... apakah itu berarti aku akan selalu dianggap bodoh?" tanya Ari lagi, sedikit tidak nyaman dengan julukan "Si Dungu".

Perempuan tua itu menggelengkan kepala. "Jangan salah paham tentang Si Dungu, anak muda. Si Dungu bukan berarti bodoh. Si Dungu adalah simbol kepolosan, keberanian, dan kepercayaan pada diri sendiri. Si Dungu berani melangkah ke tempat yang tidak diketahui, tanpa rasa takut akan kegagalan. Justru kedunguan itulah yang akan membawamu pada pencerahan."

"Tapi... bagaimana jika aku salah langkah? Bagaimana jika aku tersesat?" Ari masih merasa ragu.

"Itulah resiko dari perjalanan Si Dungu," kata perempuan tua itu dengan tenang. "Kau harus berani mengambil resiko, berani membuat kesalahan, dan belajar dari setiap pengalaman. Jangan takut untuk dianggap 'ngaco' oleh orang lain. Yang penting adalah kau mempercayai penilaianmu sendiri, dan merencanakan masa depanmu dengan bijak, meskipun tidak sembrono."

Perempuan tua itu menunjuk kartu lain dalam formasi. "Lihat kartu ini. Kartu Roda Keberuntungan. Ini menunjukkan bahwa nasibmu tidak pasti, selalu berubah-ubah seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kau harus siap menghadapi pasang surut kehidupan, keberuntungan dan kemalangan."

"Dan kartu ini," perempuan tua itu menunjuk kartu terakhir, "kartu Menara. Ini adalah peringatan. Menunjukkan kemungkinan kehancuran atau perubahan besar yang tiba-tiba. Kau harus waspada dan tidak lengah. Perjalananmu tidak akan selalu mulus. Akan ada saat-saat sulit, saat-saat di mana kau merasa segalanya runtuh."

Ari merasa sedikit gentar mendengar ramalan perempuan tua itu. Perjalanan Si Dungu ternyata tidak hanya penuh petualangan, tapi juga penuh resiko dan ketidakpastian. Namun, di sisi lain, ia juga merasa tertantang. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu menghadapi segala rintangan, dan mengubah ramalan buruk menjadi sesuatu yang positif.

"Terima kasih, Nenek," kata Ari, bangkit dari duduknya. Ia merasa mendapatkan pencerahan dan juga peringatan dari ramalan perempuan tua itu. Meskipun sedikit menakutkan, ia justru merasa semakin bersemangat untuk melanjutkan perjalanannya.

"Ingat pesan kartu-kartu ini, Si Dungu," pesan perempuan tua itu saat Ari hendak pergi. "Percayai dirimu, berani mengambil resiko, tapi jangan sembrono. Dan yang terpenting, belajarlah dari setiap langkahmu, baik langkah yang benar maupun langkah yang salah."

Ari mengangguk dan tersenyum. Ia merasa lebih siap dan lebih mantap untuk melanjutkan perjalanan Si Dungu-nya. Ia melangkah keluar dari tenda perempuan tua itu, kembali ke keramaian Pasar Rimbun, dengan hati yang dipenuhi optimisme, meskipun sedikit rasa waspada terselip di dalamnya.*

Komentar